BELAJAR DI JEPANG
Cerita dimulai ketika saya
duduk di SMA kelas 2. Waktu itu, saya bersekolah di MAN Insan Cendekia,
Serpong. Sebuah sekolah berasrama yang mewajibkan seluruh siswanya tetap
di dalam asrama selama 7×24 jam. Dengan
aturan yang cukup ketat, tak jarang dari para siswa yang berusaha untuk
bisa keluar dari “penjara suci” itu, meski dengan berbagai cara. Salah
satu cara yang saya tempuh adalah dengan mengikuti pameran pendidikan
Jepang di Jakarta.
Di acara inilah saya mulai bisa
bermimpi. Ya, bermimpi bahwa dunia perkuliahan bukan cuma di Indonesia,
tapi juga di luar sana. Sejak saat itulah, saya jadi rajin mencari
informasi tentang beasiswa-beasiswa yang ada untuk lulusan SMA. Lho kok
jadi beasiswa? kan mimpinya “cuma” keluar negeri? Jawabannya, saya harus
sadar diri. Keluarga pasti tidak akan mampu membiayai ke luar negeri.
Jadi, harus cari sendiri!
Perburuan beasiswa pun dimulai. Jerman,
Malaysia, Singapura, serta Jepang, semua kesempatan yang mungkin ada
saya cari. Informasi mengenai beasiswa-beasiswa ini sudah saya dapatkan
sejak kelas 2, atau kalau sistem yang sekarang berarti kelas XI.
Pengejaran beasiswa dimulai dari Jerman.
Ada universitas yang bersedia menerima saya sebagai mahasiswa S1. Tapi
ternyata butuh biaya hidup sendiri. Bagi saya, artinya mustahil. Lalu ke
Singapura, ada NTU dan NUS. Mencoba mendaftar ke sana, ternyata
langsung gagal di seleksi dokumentasi. Berarti memang rezeki saya bukan
di Singapura. Saya lanjutkan lagi ke Malaysia, ada beasiswa Petronas.
Setelah berhasil tembus di seleksi dokumentasi, selanjutnya adalah
ujian tulis dan wawancara. Tapi lagi-lagi hasilnya belum memuaskan.
Ketika salah satu teman saya dipanggil ke tahap berikutnya, tidak ada
telepon yang masuk ke saya. Sekali lagi, saya meyakinkan diri bahwa
rezekinya bukan di Malaysia.
Kesempatan terakhir saya adalah ke
Jepang. Waktu itu hanya ada beasiswa monbukagakusho program D2, D3, dan
S1. Khusus beasiswa ke Jepang, saya memang menyiapkan strategi khusus.
Alasannya, karena beasiswa yang satu ini memiliki persyaratan yang
sedikit berbeda. Nilai yang dilihat hanyalah nilai pada semester
terakhir. Artinya, seburuk apapun nilai rapor saya ketika kelas 1 dan 2,
selama nilai saya bisa bagus di semester 2 kelas 3, saya bisa
mendapatkan beasiswa tersebut. Pada saat itu (2005), syarat minimalnya
adalah 7,6 (tujuh koma enam) untuk D2, 7,8 (tujuh koma delapan) untuk
D3, dan 8,0 (delapan koma nol) untuk S1.
Bagaimana dengan strategi khususnya?
Pertama, saya harus “sadar diri”. Ya, saya harus “sadar diri” dengan
kemampuan sendiri. Saat itu, bagi saya mendapatkan rata-rata rapor 8
adalah hal yang hampir mustahil. Sejak awal masuk SMA, rata-rata raport
tidak pernah lebih dari 7,8. Akhirnya, setelah meyakinkan diri, saya
mantapkan hati, saya putuskan untuk “mengorbankan” nilai semester 1
kelas 3, untuk memperbaiki nilai semester 2 kelas 3. Alih-alih belajar
pelajaran semester 1, saya malah belajar materi semester 2. Tujuannya
cuma satu, mengejar rata-rata rapor 8,0.Perjuangan yang cukup memakan
waktu, karena dimulai dari awal semester 1, dan berakhir di semester 2
akhir. Tapi alhamdulillah, perjuangan saya membuahkan hasil. Rata-rata
raport saya pas 8,0. Jadi, cukup untuk mendaftar beasiswa Monbusho untuk
S1.
Selanjutnya, saya kembali putar otak.
Syarat minimal untuk mendaftar adalah 8,0. Tapi, untuk bisa dipanggil
seleksi tertulis, apakah 8,0 cukup? Apalagi, ternyata teman-teman satu
sekolah yang nilai rata-ratanya di atas 8,0 pun banyak yang mencoba
mendaftar. Lagi-lagi, saya kembali menjalankan strategi khusus. Saya
putuskan untuk mendaftar beasiswa D3 yang memiliki syarat 7,8. Kok mau
ambil diploma-3? Jawabannya ada pada mimpi saya di awal, “Pokoknya harus
keluar negeri, GRATIS!!!”
Pengumuman peserta ujian tulis pun
keluar. Alhamdulillah lagi, saya dipanggil ujian tulis D3. Ternyata
benar strategi saya, teman satu sekolah yang rata-rata raportnya 8,1 pun
tidak dipanggil untuk ujian S1. Dari teman-teman satu sekolah yang
dipanggil, waktu itu rata-rata terendahnya sekitar 8,2. Satu langkah
menuju mimpi di awal. Alhamdulillah.
Ujian tulis akhirnya diikuti, saya pun
kembali lolos seleksi. Tahap berikutnya dipanggil untuk wawancara. Di
sini pun saya sudah siapkan strateginya. Apapun pertanyaannya, pokoknya
harus PD, walaupun kemampuan otak terbatas, tapi kita akan berjuang
keras untuk bisa survive di Jepang. Apalagi nanti kuliahnya
dengan Bahasa Jepang. Sudah pasti, kesiapan mental akan ditanyakan. Izin
dari orang tua pun pasti disinggung. Sebab kita akan merantau jauh, dan
mungkin akan sulit bertemu orang tua.
Selain itu, kita juga harus menyiapkan
mimpi-mimpi kita. Waktu itu (2005), saya yang masih kelas 3 SMA cuma
bilang, “Saya mau bikin tol otomatis di Indonesia. Supaya nggak perlu
ada petugas tol yang jaga gardu malam-malam. Kasihan mereka harus
lembur.” Jelas, singkat, dan pastinya bermanfaat. Lupakan dulu sejenak
masalah mungkin atau tidak mungkin. Kita ini lulusan SMA. Ilmunya pasti
nggak seberapa. Justru, yang harus ditonjolkan adalah semangat juang,
dan kemampuan bermimpi!
Dengan sedikit strategi khusus karangan
sendiri, alhamdulillah saya bisa berangkat ke Jepang pada April 2006.
Sejak itulah kehidupan saya di Jepang dimulai. Ya, kehidupan sederhana,
yang dimulai dari sebuah mimpi seorang anak remaja, “Pokoknya harus
keluar negeri, GRATIS!!!”
Penulis: Rodiyan Gibran Sentanu
Ketua Umum PPI Jepang 2012-2013
Saat ini mahasiswa S2 di Chiba University
Ketua Umum PPI Jepang 2012-2013
Saat ini mahasiswa S2 di Chiba University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar