Pokoknya harus keluar negeri, GRATIS!!!

BELAJAR DI JEPANG

2012-gratis-gibran1
Cerita dimulai ketika saya duduk di SMA kelas 2. Waktu itu, saya bersekolah di MAN Insan Cendekia, Serpong. Sebuah sekolah berasrama yang mewajibkan seluruh siswanya tetap di dalam asrama selama 7×24 jam. Dengan aturan yang cukup ketat, tak jarang dari para siswa yang berusaha untuk bisa keluar dari “penjara suci” itu, meski dengan berbagai cara. Salah satu cara yang saya tempuh adalah dengan mengikuti pameran pendidikan Jepang di Jakarta.
Di acara inilah saya mulai bisa bermimpi. Ya, bermimpi bahwa dunia perkuliahan bukan cuma di Indonesia, tapi juga di luar sana. Sejak saat itulah, saya jadi rajin mencari informasi tentang beasiswa-beasiswa yang ada untuk lulusan SMA. Lho kok jadi beasiswa? kan mimpinya “cuma” keluar negeri? Jawabannya, saya harus sadar diri. Keluarga pasti tidak akan mampu membiayai ke luar negeri. Jadi, harus cari sendiri! ^_^
Perburuan beasiswa pun dimulai. Jerman, Malaysia, Singapura, serta Jepang, semua kesempatan yang mungkin ada saya cari. Informasi mengenai beasiswa-beasiswa ini sudah saya dapatkan sejak kelas 2, atau kalau sistem yang sekarang berarti kelas XI.
Pengejaran beasiswa dimulai dari Jerman. Ada universitas yang bersedia menerima saya sebagai mahasiswa S1. Tapi ternyata butuh biaya hidup sendiri. Bagi saya, artinya mustahil. Lalu ke Singapura, ada NTU dan NUS. Mencoba mendaftar ke sana, ternyata langsung gagal di seleksi dokumentasi. Berarti memang rezeki saya bukan di Singapura. Saya lanjutkan lagi ke Malaysia, ada beasiswa Petronas. Setelah berhasil tembus di seleksi  dokumentasi, selanjutnya adalah ujian tulis dan wawancara. Tapi lagi-lagi hasilnya belum memuaskan. Ketika salah satu teman saya dipanggil ke tahap berikutnya, tidak ada telepon yang masuk ke saya. Sekali lagi, saya meyakinkan diri bahwa rezekinya bukan di Malaysia.
Kesempatan terakhir saya adalah ke Jepang. Waktu itu hanya ada beasiswa monbukagakusho program D2, D3, dan S1. Khusus beasiswa ke Jepang, saya memang menyiapkan strategi khusus. Alasannya, karena beasiswa yang satu ini memiliki persyaratan yang sedikit berbeda. Nilai yang dilihat hanyalah nilai pada semester terakhir. Artinya, seburuk apapun nilai rapor saya ketika kelas 1 dan 2, selama nilai saya bisa bagus di semester 2 kelas 3, saya bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Pada saat itu (2005), syarat minimalnya adalah 7,6 (tujuh koma enam) untuk D2, 7,8 (tujuh koma delapan) untuk D3, dan 8,0 (delapan koma nol) untuk S1.
Bagaimana dengan strategi khususnya? Pertama, saya harus “sadar diri”. Ya, saya harus “sadar diri” dengan kemampuan sendiri. Saat itu, bagi saya mendapatkan rata-rata rapor 8 adalah hal yang hampir mustahil. Sejak awal masuk SMA, rata-rata raport tidak pernah lebih dari 7,8. Akhirnya, setelah meyakinkan diri, saya mantapkan hati, saya putuskan untuk “mengorbankan” nilai semester 1 kelas 3, untuk memperbaiki nilai semester 2 kelas 3. Alih-alih belajar pelajaran semester 1, saya malah belajar materi semester 2. Tujuannya cuma satu, mengejar rata-rata rapor 8,0.Perjuangan yang cukup memakan waktu, karena dimulai dari awal semester 1, dan berakhir di semester 2 akhir. Tapi alhamdulillah, perjuangan saya membuahkan hasil. Rata-rata raport saya pas 8,0. Jadi, cukup untuk mendaftar beasiswa Monbusho untuk S1.
Selanjutnya, saya kembali putar otak. Syarat minimal untuk mendaftar adalah 8,0. Tapi, untuk bisa dipanggil seleksi tertulis, apakah 8,0 cukup? Apalagi, ternyata teman-teman satu sekolah yang nilai rata-ratanya di atas 8,0 pun banyak yang mencoba mendaftar. Lagi-lagi, saya kembali menjalankan strategi khusus. Saya putuskan untuk mendaftar beasiswa D3 yang memiliki syarat 7,8. Kok mau ambil diploma-3? Jawabannya ada pada mimpi saya di awal, “Pokoknya harus keluar negeri, GRATIS!!!”
Pengumuman peserta ujian tulis pun keluar. Alhamdulillah lagi, saya dipanggil ujian tulis D3. Ternyata benar strategi saya, teman satu sekolah yang rata-rata raportnya 8,1 pun tidak dipanggil untuk ujian S1. Dari teman-teman satu sekolah yang dipanggil, waktu itu rata-rata terendahnya sekitar 8,2. Satu langkah menuju mimpi di awal. Alhamdulillah.
Ujian tulis akhirnya diikuti, saya pun kembali lolos seleksi. Tahap berikutnya dipanggil untuk wawancara. Di sini pun saya sudah siapkan strateginya. Apapun pertanyaannya, pokoknya harus PD, walaupun kemampuan otak terbatas, tapi kita akan berjuang keras untuk bisa survive di Jepang. Apalagi nanti kuliahnya dengan Bahasa Jepang. Sudah pasti, kesiapan mental akan ditanyakan. Izin dari orang tua pun pasti disinggung. Sebab kita akan merantau jauh, dan mungkin akan sulit bertemu orang tua.
Selain itu, kita juga harus menyiapkan mimpi-mimpi kita. Waktu itu (2005), saya yang masih kelas 3 SMA cuma bilang, “Saya mau bikin tol otomatis di Indonesia. Supaya nggak perlu ada petugas tol yang jaga gardu malam-malam. Kasihan mereka harus lembur.” Jelas, singkat, dan pastinya bermanfaat. Lupakan dulu sejenak masalah mungkin atau tidak mungkin. Kita ini lulusan SMA. Ilmunya pasti nggak seberapa. Justru, yang harus ditonjolkan adalah semangat juang, dan kemampuan bermimpi!
Dengan sedikit strategi khusus karangan sendiri, alhamdulillah saya bisa berangkat ke Jepang pada April 2006. Sejak itulah kehidupan saya di Jepang dimulai. Ya, kehidupan sederhana, yang dimulai dari sebuah mimpi seorang anak remaja, “Pokoknya harus keluar negeri, GRATIS!!!”
Penulis: Rodiyan Gibran Sentanu
Ketua Umum PPI Jepang 2012-2013
Saat ini mahasiswa S2 di Chiba University

KISAH MOTIFASIPELAJAR KE JEPANG

Perjuangan menaklukkan “iklim” dan “cuaca” Hirosaki

2012-hirosaki-ibnu1
Perkenalkan, saya Ibnu Fathrio, atau panggil saja Ibnu. Saya bekerja di Pusat Sains Atmosfer LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional). Riset keseharian saya berkutat dengan ilmu meteorologi dan klimatologi, baik pengamatan maupun pemodelan. Namun latar belakang pendidikan S1-S2 sebelumnya sedikit berbeda, saya lulus dari jurusan Fisika ITB dengan bidang keahlian fisika bumi. Sekarang saya sedang mengambil kuliah S3 di Hirosaki University di jurusan Meteorologi.
Ilmu meteorologi merupakan hal yang baru bagi saya dan saya terpacu untuk belajar lebih giat lagi dengan coba-coba mencari kesempatan beasiswa di luar negeri. Di LAPAN kami beberapa kali mengundang ahli-ahli sains atmosfer dan antariksa untuk mengisi acara dalam berbagai seminar / kuliah umum dan kami sering bekerja sama dengan RISH-Kyoto University. Nah, di kuliah inilah saya pertama kali berkenalan dengan sensei saya. Dalam sebuah kuliah, salah satu pakar yang diundang adalah (yang kemudian menjadi sensei / pembimbing saya) Yasumasa Kodama, berasal dari Hirosaki University.
Jalan untuk mendapatkan beasiswa tidaklah mudah. Berkali-kali menemui kegagalan saat mencoba peruntungan dengan beasiswa Monbushodan beasiswa lainnya. Tapi yang namnaya rejeki sih gak kemana. Meski gagal dalam Monbusho, di saat yang sama ada secercah peluang untuk mendapatkan beasiswa lain dari program “RISTEK karyasiswa”. Program ini diperuntukan kepada para PNS di lembaga-lembaga nondepartemen atau lembaga di bawah koordinasi Menristek, seperti LAPAN, LIPI, BATAN, dan BPPT. Beasiswa ini termasuk sangat baru, karena baru dimulai tahun 2010 untuk jenjang S2 dan S3 di dalam negeri. Semenjak tahun 2011 beasiswa ini juga mendukung studi S3 ke luar negeri. Beasiswa ini hanya mensyaratkan proposal penelitian, tanda penerimaan dari calon pembimbung atau Letter of Acceptance (LoA) dan nilai TOEFL minimum 500, jadi bisa dibilang tidak terlalu sulit.
Saat saya melamar beasiswa ini, saya cukup beruntung karena kuota pelamar beasiswa ini masih di bawah kuota beasiswa yang direncanakan RISTEK. Alhamdulillah saya dapat lulus persyaratan untuk mendapatkan beasiswa ini. Untuk ukuran studi di Jepang, besar beasiswa ini memang sedikit di bawah nilai nominal beasiswa Monbusho. Walaupun begitu, untuk hidup di kota dengan standar hidup seperti Tokyo, beasiswa ini bisa dikatakan lebih dari cukup.
Sebelum dinyatakan lulus sebagai mahasiswa S3 di universitas ini, saya harus melewati ujian masuk berupa presentasi di depan para penguji (professor) dari berbagai bidang keahlian. Materi yang dipresentasikan adalah topik riset yang dilakukan sebelumnya (topik tesis S2) dan juga rencana studi S3. Ujian masuk ini dilaksanakan hanya sebulan sebelum semester dimulai, yaitu pada bulan Juli 2011. Alhamdulillah untuk ujian masuk ini, biaya kehidupan saya juga didukung oleh program RISTEK karyasiswa lainnya yang bernama “program pemagangan penelitian”. Di bawah program ini, peserta diberi jatah 3 bulan untuk melakukan riset di luar negeri.
Karena tahun ini merupakan tahun pertama penyelenggaraan program beasiswa ini, proses pendaftaran di universitas harus dilakukan oleh kita sendiri. Namun kita tidak perlu cemas, karena biasanya sensei sudah menyiapkan dan akan membantu kita dalam pengurusan proses pendaftaran ke universitasnya. Biaya kuliah di universitas negeri di Jepang umumnya sama. Saat pertama kali masuk, kita harus membayar biaya ujian masuk sebesar 30.000 yen, biaya pendaftaran sebesar 282.000 yen dan biaya per semester sebesar 267.900 yen. Semua biaya ini ditanggung sepenuhnya oleh beasiswa RISTEK karyasiswa.
Kota yang sekarang saya tempati bernama Hirosaki, yang bisa dibilang merupakan kota kecil, jadi biaya hidupnya tidak semahal kota-kota besar Jepang seperti Tokyo. Biasanya perbedaan yang mencolok adalah pada harga sewa apartemen (apato)-nya. Di kota ini kita masih bisa mendapatkan apato ukuran 6 tatami dengan harga 19-20 ribu yen, yang lokasinya hanya 10-15 menit dari kampus (ditempuh dengan jalan kaki). Untuk biaya hidup secara keselurahan “cukup” menyediakan 80 ribu yen. Biaya ini dengan asumsi masak makanan sendiri (tidak beli di kantin), pasang internet di apato dan di handphone, dengan asumsi harga sewa apato 20-30 ribu. Saat musim dingin biayanya sedikit membengkak karena harus membeli minyak bahan bakar untuk penghangat ruangan (18 liter minyak ~ 1.500 yen). Pada musim dingin (salju turun mulai akhir November) kota Hirosaki memiliki suhu maksimum nol derajat dan selalu tertutup salju sepanjang hari.
Oh ya, di kampus saya tidak ada kantin yang menjajakan makanan halal, jadi otomatis kita terpaksa berhemat dengan masak sendiri (2.000 yen untuk seminggu jika bisa menghemat). Komunitas muslim di sini memang sedikit, tapi kami menyewa apato di dekat kampus untuk dijadikan musola sehingga kita bisa sholat berjamaah lima waktu di sana. Setiap hari Jumat alhamdulillah kami tidak pernah absen dari sholat Jumat meskipun hanya dihadiri oleh sekitar 10 orang. Jamaahnya terdiri dari muslim dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Pakistan. Bahkan waktu Idul Adha kami sempat melakukan kurban kambing, tetapi tentunya tidak secara terang-terangan karena penyembelihan hewan tanpa lisensi itu dilarang di Jepang. Persaudaraan antarmuslim di sini begitu kental terasa meski kita berasal dari negara dan bahasa yang berbeda-beda.
Soal kerja paruh waktu (baito) sepertinya disini tidak terlalu populer karena kota ini tidak terlalu ramai. Kalaupun ada, biasanya teman-teman saya melakukan baito di pabrik apel. Jika mahir berbahasa Jepang mungkin bisa dapat baito yang lebih tinggi honornya. Masih soal finansial, untuk mahasiswa yang kesulitan keuangan, terdapat fasilitas keringanan uang kuliah yang diberikan oleh universitas. Keringanan uang kuliah ini bisa didapatkan namun besarannya bermacam-macam. Contoh kasus, mahasiswa asal Bangladesh dibebaskan dari biaya pendaftaran dan biaya semester, dan ada juga mahasiswa lain yang hanya membayar 50%.
Hirosaki adalah kota wisata, dengan salah satu tempat wisatanya yang terkenal adalah Hirosaki Castle. Di tiap musim juga selalu diadakan festival. Sebagai contoh, pada pertengahan musim panas (2-7 Agustus) di kota ini sering diadakan festival Nebuta. Nebuta adalah lentera ukuran raksasa yang dibuat dari kerangka kayu berlapis washi yang umumnya berbentuk boneka pemeran kabuki atau hewan. Nebuta diusung dengan kendaraan hias untuk berpawai di jalan-jalan. Menurut saya, waktu yang paling menyenangkan di Hirosaki adalah saat musim dingin ketika kita dengan mudah mendapatkan akses untuk bermain ski dan snowboard yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota Hirosaki. Selain kota wisata, Hirosaki juga dikenal sebagai kota penghasil apel terbesar di Jepang. Sekitar 20% apel di Jepang berasal dari kota ini. Musim panas di Hirosaki pun tidak terlalu panas seperti di kota lainnya, dengan suhu tertinggi sekitar 32-33 derajat celcius.

Demikian pengalaman singkat perjuangan sejauh ini untuk untuk menaklukkan kota Hirosaki dan universitasnya.  Semoga para pembaca berkenan berkunjung ke kota ini. Khusus bagi para pemburu beasiswa, satu tips penting dalam mencari sekolah dan dukungan biaya hidup adalah agar jangan terlalu terpaku pada sekolah-sekolah dan beasiswa top. Kadang kesempatan datang dari sekolah kecil yang kualitasnya sama baiknya seperti sekolah dengan nama besar. Beasiswa pun bisa diupayakan dari berbagai cara yang tidak kita duga.

Semangat!

join wit me

comentar